Dijelaskan lebih lanjut, berdasarkan rekomendasi TIM A, Kepala BPN Mamuju HN menyetujui penerbitan status kepemilikan permohonan ADH, tanpa berkoordinasi atau meminta informasi dari Dinas Kehutanan atau instansi berwenang lainnya.
Selanjutnya pada tanggal 23 Maret 2017, menerbitkan SHM No. 611 seluas 10.370 M2, atas nama IP (istri ADH).
Sehingga pada tahun 2019, di atas lahan SHM No. 611 tersebut, ADH membangun SPBU.
ADH mendapatkan kepastian informasi tentang Kawasan hutan dari Notaris, namun ADH sampai saat ini tidak menggubris adanya pengeluaran luasan tersebut, SPBU tetap dibangun dan dikelola sampai saat ini,.
Bahkan di atas lahan tersebut juga dibangun fasilitas penunjang seperti rumah makan dan bangunan yang kemudian disewakan sebagian lahannya untuk minimarket Indomaret.
Atas penguasaan tanah dalam kawasan hutan lindung tersebut, negara dirugikan senilai Rp. 2.817.137.263.
ADH juga disebut mengambil keuntungan yaitu berupa penguasaan lahan Kawasan hutan, harga sewa bangunan gedung untuk indomaret dan usaha rumah makan yang dibangun di atas lahan tersebut.
Terhadap kasus itu, tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) subs Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Tersangka diancam pidana maksimal 20 tahun penjara, dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Adapun ketiga tersangka, saat ini ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat, Nomor: PRINT – 497/ P.6/ Fd.2/ 07/ 2022, PRINT – 498 / P.6/ Fd.2/ 07/ 2022, PRINT – 499 / P.6/ Fd.2/ 07/ 2022, tanggal 21 Juli 2022 di Rutan Klas IIB Mamuju, selama 20 hari terhitung mulai hari ini.