Penulis : drg. Taufiq Muh. Amir
Mahasiswa Magister Ilmu Kedokteran Gigi Unhas
Konsentrasi Manajemen Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
JournalInvestigasi.com – “Sebuah pesan masuk, tampil di layar utama hp saya. Pesan yang singkat namun sejak 6 bulan lalu tak bisa saya jawab dengan pasti,” “Dok Prakteknya buka ?, kapan bukanya dok ?”.
Kami praktisi dokter gigi banyak yang memilih tutup lapak di era pandemi ini. Saya pribadi terhitung Maret 2020, tepat saat pertama kali covid 19 menyeruak masuk ke Indonesia, memilih untuk meletakkan alat-alat lebih dini. Di masa itu tidak ada satupun studi epidemiologi yang bisa menggambarkan pemetaan covid 19 di negara kita.
Bisa saja musuh tak tampak mata itu sudah ada di samping kita, di manapun kita berpijak di bumi pertiwi ini. Sehingga pilihan paling rasional saat itu adalah menutup sementara pelayanan di tempat praktik untuk mencegah dan memutus mata rantai penularan.
Profesi dokter gigi menjadi salah satu profesi medis dengan resiko tinggi penularan virus corona, baik antar pasien ke dokter gigi maupun antar sesama pasien. Untuk itulah kemudian kebijakan Profesi mengatur dengan ketat penyelenggara praktek dokter gigi dalam masyarakat.
Sebagai operator kami bisa saja membentengi diri dengan baju “astronot” dalam bekerja. Bekal pengetahuan tentang Alat Pelindung Diri sudah lama kami dapatkan di bangku perkuliahan. Tapi bagaimana dengan pasien yang silih berganti masuk ke dalam ruang tindakan.
Dengan droplet (partikel mikro saliva/air liur)Â yang mungkin saja bertebaran dan beterbangan dalam ruang yg dulu didesain tertutup untuk pendingin ruangan. Resiko terjangkit tidak bisa diukur sama sekali, terlebih screning pra tindakan hanya mengandalkan cerita jujur pasien akan mobilisasinya, riwayat kontak, bahkan riwayat keluhannya jika saja pernah bergejala Covid 19.